ACSDAILY- Di era digital belakangan ini, tumbuh kembangnya teknologi dan arus informasi yang deras sudah tidak dapat dipungkiri, pengaruh masyarakat terhadap arus informasi ini bisa disikapi secara positif dan negatif.

 Sikap positif ini bisa kita maknai bahwa berkembangnya informasi dan teknologi menjadi kemudahan penyebaran informasi keseluruh penjuru dunia, bahkan, bisa dinikmati oleh seluruh warga Negara termaksud juga arus bawah atau yang kerap dikenal dengan sebutan akar rumput atau grassroot untuk belajar dan mengembangkan diri.

Namun, layak nya dua buah sisi koin, jika ada unsur positif tentunya ada pula unsur negatif yang timbul dari arus informasi ini. Terlebih lagi, di era digital ini, media sosial menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. 

Data dari We Are Social (2015), dari sekitar 7 milyar penduduk bumi, terdapat sekitar 3,2 milyar pengguna aktif di media sosial. Tidak jauh berbeda dengan jumlah pengguna mobile celular. Perbandinganya 3,7 Milyar pengguna mobile celular dan 3,2 milyar pengguna media sosial. Ini berarti hampir semua pengguna mobile celular sekarang adalah pengguna media sosial itu sendiri. 

Berkembangnya media sosial, portal berita, dan blog memacu derasnya arus informasi, dengan media tersebut siklus hidup informasi berproses dengan cepat, banyak informasi baru yang muncul dan menyebar sehingga memunculkan pengetahuan baru dan menciptakan informasi yang baru pula.

Terlebih lagi, pikiran mudah sekali disesaki berbagai kepentingan, termasuk memori bawah sadar. Kemampuan seseorang menafsir juga diperkuat lingkungan. Dukungan lingkungan membuat tafsiran seseorang terhadap sesuatu, termasuk tafsiran keliru yang terkadang diperkuat dengan tafsiran individu.

Tak Pelak lagi, menjamurnya informasi baru layaknya tsunami digital yang tergolong jauh dari kontrol, sehingga tidak semua informasi yang tersedia adalah informasi yang sehat dan berkualitas. Perlu adanya kegiatan memilah dan memilih informasi yang relevan sehingga tidak terjebak dalam derasnya arus informasi (sehingga jangan menyalahkan arus informasinya).

Howard Gardner dalam Five Minds for the Future (2007) telah mengingatkan bahwa salah satu kemampuan otak yang diperlukan di masa depan adalah menyintesis informasi. Di era tsunami digital, penting menyaring informasi melimpah dan menjadikannya pengetahuan yang berguna.
Namun, jika memilah dan memilih informasi yang penting, kurang penting, atau tidak penting saja dalam waktu yang cepat terasa sulit, maka kemampuan untuk menyintesis atau memadukan berbagai informasi pun lebih sulit dilakukan.

Analogi dalam hukum fisika menyatakan bahwa makin sedikit waktu yang diperoleh untuk memproduksi berita maka semakin banyak pula kesalahannya dan kasus dari analogi tersebut pernah terjadi dalam cyber journalism. Sebuah media online memberitakan tewasnya seseorang yang jatuh dari tangga kos, tetapi keliru mencantumkan nama korban. Tercantum di media online tersebut, korban bernama Amelinda Putri Arsita. Padahal, korban yang tewas bernama Anindya Kiranani.

Disisi lain, jika ditinjau dari kacamata psikologi, kemampuan berpikir di era digital adalah berpikir rasional komprehensif. Tentunya untuk berpikir rasional komprehensif butuh pikiran terbuka, mawas diri serta tidak jumawa. Dan pikiran terbuka sangat dipengaruhi pola interaksi, keluasan pergaulan, heterogenitas lingkungan, pengalaman hidup, hingga pola pendidikan keluarga dan sekolah sejak dini. 

Alhasil, untuk membentuk kemampuan berpikir kritis dan mampu menyaring informasi apa pun haruslah sesuai budaya, agama, ataupun kepentingan bersama yang dimana pendidikan adalah jalan utama (pendidikan yang gelarnya tidak asal gelar). Namun, rekayasa manusia melalui pendidikan itu bukan hanya di sekolah seperti difokuskan pemerintah selama ini, melainkan juga di keluarga dan masyarakat.

Disamping itu semua,, ah sudahlah.. Kopi ini terasa nikmat sekali walaupun pahit (Liong)..

0 comments:

Posting Komentar

 
ACS Daily © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top